politik uang
POLITIK UANG
Oleh: Abdurrohim Harahap
(Presiden PPI-UM)
POLITIK UANG atau dikenal juga dengan istilah POLITIK PERUT adalah suatu bentuk pemberian uang, barang atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih calon dan Partai tertentu atau sebaliknya memilih calon dan Partai tertentu pada saat pemilihan umum. Politik Uang atau Politik Perut ini sangat berbahaya dalam membangun sebuah proses demokrasi yang bersih karena perannya yang sangat berdampak merusak :
Pertama, Politik Uang Merendahkan Martabat Rakyat.
Para calon atau Partai tertentu yang menggunakan Politik Uang untuk
menentukan siapa yang harus dipilih dalam Pemilu telah secara
nyata merendahkan martabat rakyat. Suara dan martabat Rakyat dinilai
dengan bahan makanan atau uang yang sebenarnya nilainya tidak sebanding
dengan apa yang akan didapat selama 5 tahun sang Calon menduduki kursi
yang berhasil direbut dengan cara ini.
Proses ini jelas merupakan pembodohan
massal karena rakyat dikelabui dan dibodohi hanya dengan mengeksploitasi
kepentingan sesaat mereka. Penderitaan mereka akibat kebijakan yang
keliru selama sang calon menjabat atau akibat penerapan sistem yang
tidak adil dan bersifat menindas kelas sosial tertentu ditutup
rapat-rapat dan dikelola secara baik untuk kepentingan sang calon
menaiki tampuk kekuasaan. Ada kecenderungan, Politik Uang sengaja
dipelihara dengan cara lebih dulu memelihara penderitaan rakyat agar
bisa dikelola setiap momen pesta demokrasi.
Kedua, Politik Uang merupakan Jebakan buat Rakyat.
Seseorang yang menggunakan Politik Uang untuk mencapai tujuannya
sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk menjebak rakyat. Rakyat
dalam hal ini tidak diajak untuk sama-sama memperjuangkan agenda
perubahan, tetapi diarahkan untuk hanya memenangkan sang calon semata.
Setelah calon terpilih maka tidak ada sesuatu yang akan diperjuangkan
karena sang calon akan sibuk selama 5 tahun atau periode tertentu untuk
mengembalikan semua kerugiannya yang telah dikeluarkan untuk menyuap
para pemilih. Kondisi akan lebih para jika misalnya, calon telah meminta
bantuan konglomerat tertentu untuk menyediakan dana kampanye yang
dipakai untuk menjalankan Politik Uang.
Sudah bisa dipastikan, berdasarkan
pengalaman yang ada, sang calon ketika dipilih oleh rakyat yang telah
dibayar, akan sibuk mengabdi selama 5 tahun melayani semua kepentingan
dan kemauan sang konglomerat karena dialah yang menjadi donatur bagi
sang calon. Di Legislatif akan terjadi sebuah pelayanan terhadap sang
donatur dalam bentuk kolaborasi kepentingan dalam Badan Anggaran
sehingga muncul mafia anggaran yang mengelola proyek fiktif, proyek
rendah mutu dan proyek dengan penggelembungan harga atau mark-up. Semua ini dilakukan dalam rangka membahagiakan sang donatur dan secara nyata akan merugikan rakyat pemilih.
Ketiga, Politik Uang Mematikan Kaderisasi Politik.
Kaderisasi Politik akan mati total jika terjadi Politik Uang dalam
Pemilu. Sang calon merasa tidak terbeban kepada pemilih karena akan
menganggap keheberhasilannya sebagai sesuatu yang telah dibeli dari
rakyat saat terjadi transaksi jual-beli suara. sebagai konsekwensinya
sang calon akan sibuk mempertahankan kekuasaannya di posisi tersebut dan
akan tetap maju sebagai kandidat di periode selanjutnya.
Sumber daya politik dan dana yang
dikumpulkan akan dipakai untuk kepentingan diri sendiri dari periode ke
periode. Disinilah terjadi kematian terhadap kaderisasi karena sang
calon tidak akan dengan rela melepaskan kekuasaannya karena memang tidak
ada kader yang dia siapkan. Buktinya ada banyak, bisa ditemui di
berbagai daerah dimana seorang anggota legislatif tetap menempati posisi
tersebut sampai tua, bahkan meninggal dalam posisi sebagai anggota
legislatif aktif.
Keempat, Politik Uang akan Berujung pada Korupsi.
Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan APBD
dimana terjadi kerjasama antara eksekutif dan legilatif. Kehadiran
Legislatif dengan fungsi kontrol atau pengawasan tidak berfungsi secara
maksimal. Poin ini ada kaitan dengan point kedua diatas, dimana motifasi
dilakukannya korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian yang terjadi
saat kampanye dimana sang calon telah melakukan Politik Uang dalam
rangka membodohi rakyat untuk kepentingan meraup suara.
Kelima, Politik Uang Membunuh Transformasi Masyarakat.
Transformasi atau perubahan sebuah masyarakat ke arah yang lebih baik
akan terhambat, bahkan mati jika proses demokrasi didominasi dengan
Politik Uang. Perubahan yang diimpikan jelas tidak akan tercapai karena
sang calon, ketika menang, akan menghabiskan seluruh energinya untuk
mengembalikan semua kerugian yang telah dikeluarkan selama kampanye,
utamanya kerugian yang terjadi akibat jual-beli suara dalam kerangka
Politik Uang. Sang Calon secara nyata tidak akan merasa terbeban karena
menganggap bahwa dia telah membeli suara dan kondisi keterpurukan
masyarakat tidak menjadi urusan dia.
Komentar
Posting Komentar